Nostalgia Ceria Bermain Layang – Layang
Teet.. teett.. suara alarm tanda pulang kerja telah berbunyi, walau terdengar agak sember disore itu tapi itulah suara yang paling ditunggu oleh seorang karyawan seperti saya. Segera kukemasi barang dan bersiap pulang ke tempat kost.
Sepeda motor berjalan santai menyusuri jalan pinggiran kota. Sore itu langit terlihat cerah, semilir angin terasa sejuk menembus jacket hitamku. Tiba-tiba didepan terlihat beberapa anak sedang berlarian sambil kepalanya menengadah keatas sepertinya sedang berlomba mengejar sesuatu. Ternyata anak-anak tersebut sedang mengejar layang-layang putus. Mereka berlarian kesana kemari mengikuti arah layangan yang terbawa angin tanpa memperdulikan lalu-lalang kendaraan yang melintas.
Langsung saja kupelankan laju sepeda motor. Tentu saja ini berbahaya bagi mereka tetapi yang namanya anak-anak bila telah asik dalam dunianya kadang susah untuk dibilangin. Kalau sudah dalam situasi seperti ini kitalah yang harus dituntut lebih berhati-hati.
Melihat tingkah polah mereka saya jadi teringat masa kecil saat bermain layang-layang. Bermain layang-layang juga mengenal musim. Musim bermain layang-layang biasanya terjadi pada saat musim kemarau dimana tidak ada hujan dan angin yang cukup kencang sehingga memudahkan untuk menerbangkan layang-layang.
Dulu ada 3 cara saya untuk dapat memiliki layang-layang, yaitu :
1. Membeli di toko
2. Mendapatkan gratis dari hasil mengejar layangan putus
3. Membuat layangan sendiri
Karena saat itu uang jajan sekolah yang terbatas dan selalu habis buat jajan di sekolah maka biasanya saya mendapatkan layang-layang dari hasil mengejar layangan putus.
Di saat musim layangan, mengejar layang-layang putus sudah menjadi kegiatan rutin selepas pulang sekolah. Tanpa mengenal lelah, lapar dan kulit yang menghitam kita berlarian berlomba demi mendapatkan sebuah layang-layang.
Untuk anak yang kalah dalam tinggi badan biasanya menggunakan strategi dengan membawa ranting atau bambu panjang agar menang dalam perebutan layangan.
Beradu layang-layang juga tidak kalah mengasikkan. Berbekal sebuah layangan dan benang gelasan yang tajam, di sore hari saya biasanya beradu layangan di lapangan “Tribrata” (sekarang kompleks pasar Besole Baleharjo). Dulu merk andalan yang sering saya gunakan adalah layangan “cipacing” (dan ternyata itu adalah nama sebuah desa pengrajin layang-layang di Jawa Barat) juga benang gelasan cap “gajah” dan “kampak” karena terbukti sering menang dalam beradu.
Ada trik-trik sendiri dalam beradu layangan. Benang gelasan yang tajam, layangan yang stabil dan kelihaian dalam tarik ulur benang menjadi kunci kemenangan. Bila benang dipasaran dirasa kurang tajam biasanya kita membuat benang gelasan sendiri dengan menambah bubuk kaca halus agar lebih tajam tetapi resikonya bila kita tidak hati-hati jari kita bisa tergores. Ada juga yang mengaitkan pisau silet di ujung benang dengan harapan bila benang lawan mengenai pisau silet tersebut bisa langsung putus. Ada rasa kebangaan sendiri bila kita menang dalam adu layangan apalagi bila lawan kita lebih dewasa dalam umur. 🙂
Saat ini ruang terbuka untuk bermain layang-layang sudah terbatas khususnya di kota-kota besar. Ruang terbuka yang biasanya digunakan anak-anak bermain sudah hilang digantikan dengan gedung-gedung bertingkat yang berdiri angkuh merebut kecerian mereka.
Anak-anak sudah mulai kesulitan menemukan ruang bermain sehingga tidak sedikit untuk memilih jalanan sebagai gantinya. Tentu ini sangat berbahaya bagi mereka tetapi memang tidak ada pilihan lain.
Semoga pemerintah dan masyarakat peka dalam hal ini bahwa anak-anak juga memiliki hak untuk bermain. Mereka membutuhkan ruang terbuka untuk bisa bermain dan menikmati masa-masa indah anak-anak yang akan menjadi bekal mereka dikemudian hari.
(ipg)
Menanti Senja Embung Nglanggeran
Waktu menunjukkan pukul 15:00 wib, mendung tipis masih saja bergelayut diatas langit sore itu. Hari itu minggu pertama diawal tahun 2015 saya bersama keluarga berencana pergi main ke Embung Nglanggeran.
Sejak diresmikan oleh Gubernur D.I. Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X pada tanggal 19 Februari 2013 lalu saya memang belum pernah sekalipun pergi ke tempat itu.
Mengunjungi Embung Nglanggeran sebenarnya sudah saya rencanakan pada liburan lebaran tahun 2014 kemarin, tetapi apa daya saat itu belum kesampaian karena keterbatasan waktu liburan sehingga terpaksa niatan itu tertunda.
Kami berangkat dari Wonosari dengan mengambil rute : Siyono-Gading-pertigaan Sambipitu ke kanan kemudian kekiri menuju Nglanggeran. Rute tersebut adalah rute terdekat bila kita berangkat dari Wonosari.
Tiba dipintu gerbang masuk embung, jalan aspal mulus berganti dengan jalan berbatu. Tidak lama setelah itu kita akan melewati pos restribusi. Tiket masuk dipatok Rp. 5000 per orang, itu sudah termasuk biaya parkir kendaraan. Sekitar kurang lebih 500 m dari pos restribusi tibalah kami di plataran parkir Embung Nglanggeran yang tergolong luas.
Untuk sampai di embung, kita masih harus menaiki beberapa anak tangga menuju keatas. Sampai diatas ternyata pengunjungnya sudah lumayan banyak.
Embung ini tidak terlalu luas. Embung dikelilingi jalan setapak yang dibatasi pagar besi. Disekeliling embung juga terdapat lampu unik sebagai penerang dimalam hari. Ada juga beberapa gazebo yang disediakan pengelola sebagai tempat beristirahat.
Kami memilih gazebo paling atas untuk beristirahat. Dari atas sini kita dapat memandang luas hijau daratan yang membentang seolah tanpa batas, satu satunya yang menjadi batasan hanya kemampuan jangkauan optik mata kita. Indah.
Embung Nglanggeran sendiri adalah danau buatan yang terletak di atas bukit di Padukuhan Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. Koordinat GPS nya S7°50’50.0″ E110°32’48.0″.
Fungsi utama embung itu sebenarnya adalah sebagai tempat penampungan air untuk pengairan kebun buah milik masyarakat yang berada dibawahnya. Lokasi embung yang berada diatas bukit dan berdekatan dengan Gunung Api Purba Nglanggeran menjadikan embung memiliki pemandangan yang indah sehingga menjadi modal tersendiri untuk dapat dijual sebagai tempat wisata.
Pengelola tempat ini tergolong komunikatif terhadap pengunjung yang secara kontinyu menginformasikan sejarah asal usul dan kondisi embung melalui pengeras suara.
Senja telah tiba. Para pengunjung yang didominasi anak muda mulai menyiapkan kameranya untuk mengabadikan momen senja yang sebentar lagi datang. Terlihat beberapa pasang anak muda sedang asik berpose mencari spot yang diinginkan.
Foto backlight berlatar belakang sunset Embung Nglanggeran memang sudah terlalu mainstream bagi para pemburu senja di tempat ini.
Senja di Embung Nglanggeran memang begitu menggoda, burat cahaya keemasan terlihat begitu indah di batas barat cakrawala mengantar sang surya pulang keperaduan. Embung ini merupakan spot sempurna untuk menikmati sunset di Jogja.
Hari semakin sore, pengunjung embung bukannya berkurang tetapi malah semakin bertambah. Disaat mereka asik menikmati senja dengan cara mereka, kami memutuskan untuk pulang.
-ipg
Komentar Terbaru